Sunday, November 25, 2007





Kata Pengantar
dalam Antologi Puisi “Keberangkatan”



Oleh Gerson Poyk*)



Esai Gerson Poyk ini membicarakan puisi-puisi karya enam penyair : Ahmad Suyudi Omar, Bagus Pramudya, Be Saptajie, 
Mer Magdal, Sihar Ramses Simatupang, dan Tata Surya.
 Keenam penyair pernah dan bahkan kerap 
bertandang ke rumah Gerson Poyk.




Pada suatu hari datang beberapa penyair ke rumah saya di Depok, mengantarkan kumpulan puisi yang berjudul Keberangkatan. Mereka meminta saya membuat kata pengantar untuk kumpulan puisi tersebut. Hati kecil saya berkata sendiri, di saat bangsa ini dicengkeram kerakusan dan kekuasaan, masih ada anak-anak muda bangsa ini yang peduli kepada kehidupan batin, kepada puisi.
Kepada seorang penyair yang datang sendiri beberapa hari kemudian untuk ngobrol mengenai seni dan puisi, saya mulai memperkenalkan kepadanya buku Jacques Maritain berjudul Crative Intitution in Art and Poetry (Meridian Books, New ork 1995).


Puisi di dalam bahasa Indonesia diambil dari kata poetry dalam bahasa Inggris. Orang sering menggunakan kata puisi (poetry) untuk menunjukkan karya seni yang dalam bahasa Inggris disebut poem. Dalam acara poetry reading (pembacaan puisi), misalnya, pengertian kita adalah pembacaan sajak (poem). Akan tetapi menurut Maritain, poetry adalah energi spiritual atau nama lainnya yang oleh Plato disebut mousike. Jadi, poetry adalah kehidupan (atau nyanyian) batin seseorang yang sesuai dengan pepatah Indonesia, dalam laut dapat diduga, tapi dalam hati siapa tahu.


Tetapi poetry atau energi spiritual itu dapat mendorong terciptanya seni (poem, lukisan, patung, lagu, teater, atau tarian). Jadi, poetry lebih mendasar, poses interkomunikasi inner being of thins (kehidupan yang lebih dalam dari benda-benda) dan inner being of human self (kehidupan yang lebih dalam dari diri manusia).


Sesungguhnya putra-putri mousike (poetry), yaitu para penyair dan pencipta (creator), dapat menjadi craftsmen (teknisi, tukang, pengrajin) yang sempurna. Dan putra-putri techne, yaitu para berpendidikan (men of letters) atau para profesional, dapat juga menjadi craftsmen yang buruk. Untuk menjadi yang terakhir ini dapat dilakukan melalui latihan dan disiplin. Tidak perlu terlalu mengandalkan intuisi puitis (intuisi kreatif). Sebaliknya, intuisi puitis tidak dapat dipelajari dan diperbaiki melalui latihan karena intuisi puitis tergantung pada kemerdekaan alami tertentu dalam jiwa manusia dan alur imajinasi serta kekuatan intelek alamiah.


Tuntutan intuisi puisi hanya untuk didengarkan. Penyair hanya berusaha untuk memindahkan halangan dan keributan. Penyair memerlukan disiplin serius untuk tidak mengkhianati intuisi puitisnya. Penyair memerlukan pengorbanan untuk menaruh segala sesuatu pada peringkat kedua. Peringkat pertama adalah intuisi kreatif atau intuisi puitis itu sendiri. Jalan yang ditempuh oleh intuisi kreatif adalah jalan yang pasti dan sunyi, jalan menuju negeri tak dikenal melalui jembatan-jembatan penderitaan batin.


Para seniman lebih senang dengan penemuan-penemuan teknis. Segera setelah intuisi puitis memasuki ruang operasional, ia pun memasuki ruang kesenian, tetapi bagaimanapun ia tetap bebas. Ia tidak menaati peraturan, tetapi peraturan menaati intuisi kreatif (puitis) itu, seperti halnya remote control televisi. Intuisi puitis (kreatif) dapat bermain ke bidang luar sastra, misalnya bidang ilmu pengetahuan, filsafat, bisnis, revolusi, dan agama. Intuisi puitis terlibat di dalam karya para pakar matematika besar. Saudara kembar dari sang Takut yang bernama Thommas Hobbes mendapat pelajaran dari intuisi puitis. Begitu pula Plato, Aristoteles, Plotinus, Hegel, Columbus, Einstein, Gandhi, dan lain-lain.


Pengalaman puitik adalah segi lain dari jiwa kita, segi yang lebih kompleks dan memiliki arti psikologis. Ini mengacu kepada keadaan tertentu dari jiwa kita ketika self communion membuat lalulintas pikiran kita berhenti sebentar dari intensnya intuisi puitis. Di saat demikian inilah seorang filsuf harus mengikuti kesaksian sang Penyair, memasuki dunia yang mendiamkan semua konsep dan terapung dalam kenangan berderai sampai jauh (ingat ”Derai-derai Cemara”-nya Chairil). Dengan kata lain, pengalaman puitis berkembang di tepian alam prasadar spiritual yang obskur dan tak terekspresikan. Semua energi batin terkonsenstrasi secara damai, tenang, tanpa ketegangan. Pengalaman puitis terdiri dari dua fase. Fase pertama adalah systole dan kedua adalah diastole. Semuanya ada di sana, terjadi serentak dalam tubuh pengalaman puitis.


Poetic sense (citarasa puitis) dalam karya (poem) berhubungan dengan pengalaman puitis dalam diri si Penyair. Citarasa puitis dalam sebuah karya (poem, sajak) adalah jiwa dari karya itu. Yang perlu dicatat adalah bahwa citarasa puitis dalam sebuah sajak tidak bisa dipisahkan dari benuk verbal yang hidup di dalam dirinya, hidup dalam jaringan atau rumpun kata-kata yang terpilih. Kata-kata yang bukan hanya tanda dari konsep-konsep atau ide-ide, melainkan juga rumpun kata yang hidup dalam kualitas kemerduan bunyi (melodius). Fungsi rumpun kata sebagai tanda-tanda (sign) dalam interrelasi mutualnya tergantung pada waktu yang sama pada kemerduan fisik ini – dan waktu yang sama pula pada citra-citra yang dikandungnya.
Juga, pada waktu yang sama tergantung pada kabut atau aura dari asosiasi-asosiasi yang tidak terekspresikan yang dibawa oleh kata-kata itu sendiri. Sudah tentu tergantung juga pada arti logis yang tergantung dalam kata-kata (yang hanya sebagian dari keseluruhan arti dari sebuah sajak).


Jadi, sebuah sajak (poem) atau puisi dalam arti bentuk seni) memiliki arti rasional, arti imajinal, arti misterius, dan kemerduan bunyi. Maka ada sajak (puisi) jelas (logic, clear) seperti pada pantun (puisi klasik) dan ada pula sajak-sajak moderen yang obskur atau nokturnal. Begitulah, maka yang disebut poetic sense adalah inner melody sebuah sajak (poem).


Sajak-sajak Ahmad Suyudi Omar pada umumnya jelas (clear). Ada beberapa metafor yang tersebar, dislokasi arti kata yang masih bisa diraih nalar. Personifikasi dan alusi kepada kitab suci agamanya jelas sehingga tampak situasi absurd yang melanda kehidupan Nabi Ibrahim dan Nabi Ayub diatasi dengan membentangkan permadani kesabaran yang terbang menuju loncatan iman.


Mer Magdal muncul dengan sajak-sajak jelas. Mengenai situasi pelanggaran hukum dan usaha mendaki gunung terjal tinggi. Usaha untuk mengatasinya masih merupakan perjalanan jauh, setelah darah mengalir seperti air dan peluru bersarang di tubuh anak bangsa. Yang menarik adalah kesadaran bahwa perjalanan masih panjang. Ini adalah setengah dari perjalanan itu sendiri, tetapi tiba-tiba timbul bayangan keinginan untuk hujamkan sebilah belati ke dasar hati. Ini adalah haknya, karena ada segi inhuman dalam diri manusia menghadapi absurd wall dalam kehidupan. Suicide atau murder selalu tersedia dalam menghadapi kendala absurditas (kontradiksi dan kemustahilan). Di samping tentu saja jalan tengah (moderation) yang menegakkan sikap mempertahankan hidup. Menolak kekerasan dan pembunuhan.


Bagus Pramudya bertanya dalam untaian kata-kata yang jelas, apakah hidup tak lagi jenaka/hingga tak kau cerna/untuk apa kita lahir ke dunia. Sajak-sajaknya bernada alusif keagamaan manakala ia berhadapan dengan kuburan, jenasah, dan bunga kamboja di kampung halamannya. Kematian adalah duka-bahagia/menjelang/tak mungkin ditawar. Kematian adalah absurd. Artinya, ada kontradiksi duka dan bahagia, ada kemustahilan (tak mungkin ditawar). Dengan demikian, maka, walau sajak-sajaknya jelas dan logis, tetapi logika yang dipakai adalah logika analogis untuk beruusan dengan sesuatu di lua pengalaman. Ia bukan berurusan dengan silogisme, melainkan berkutat dengan logika estetis. Sudut hatinya bernyanyi melalui dislokasi arti untuk mencapai arti imajinal dalam hati yang berbisik pada sepi/mungkinkah dalam yang kecewa/akan mencari rembulan/sementara pekat makin tak bertepi/sia-sia engkau menjerat matahari.


Be Saptajie berhadapan dengan kebutuhan dialog inpersonal (lawan dari percakapan pokrol-pokrolan yang intermanipulatif). Hanya satu telinga yang diberikan oleh lawan bicara. Telinga yang lain diberikan kepada kesibukan lain. Ini sangat menyakiti hati sang penyair. Metafor yang dipakai penyair jelas. Penyair mengalami disintegrasi cinta. Cinta bukan lagi membebaskan/tetapi lebih menempatkan diriku/seperti pengemis/di depan gerbang kuil kasih sayang/tanganku terus tengadah/karena kosong dari keping-kepingnya.


Disitegrasi cinta itu membuat sang penyair.. mempersiapkan kematian/setelah kegagalan di hari kemarin/dan kebutuhan untuk hari esok berupa mengarungi dan menyelami laut yang sama tetapi ketika kembali ke darat ternyata yang tersedia adalah definisi berbeda tentang lautan/...tidak lagi bisa mengalir/tidak lagi menjadi pohon subur/...tidak lagi menghasilkan buah/selesailah aku/yang hidup tidak dalam kehidupan/dan tidak mati/namun ada dalam kematian.


Akhirnya sang penyair kembali. Wahai yang menemaniku/ditepian sungai kautsar miliknya/dan sesaat menghilang/di awal kelahiranku/kembalilah/sebab suara takdir telah berseru. Bagi kita untuk bersama lagi.
Tampaklah alusi keagamaan menyelesaikan disintegrasi cinta. Lagi-lagi terjadi loncatan iman dalam kiamat cinta di sebuah menara gading.


”Elegi Belatung”, sajak-sajak Tata Surya bermain dengan kemerduan bunyi dan irama. Jiwa sajak ini pun tentulah bernyanyi. Dengan kata lain, sajak ini memiliki inner melody walau yang terasa adalah sejenis melodrama belatung yang mengais, karan, membusuk. Sang belatung mati.


Intuisi puitis atau intuisi kreatif yang hanya bersemayam dalam jiwa manusia, yang tidak berbentuk seni itu saling bercinta dengan keindahan dalam proses dinamis kreatifnya. Intuisi puitis itu bebas, merdeka, dan dalam konsisi tanpa bentuk seni. Bagaikan pelari, ia berlari sambil menghirup udara keindahan, sehingga keindahan itu pun tidak punya tujuan ke arah bentuk seni. Tujuan keindahan selalu berada di balik tujuan, sedang intuisi puitis walau berada di malam spiritual prakonseptual, mendorong terjadinya bentuk seni, mendorong penciptaan, hingga ia disebut juga intuisi kreatif.
Ia memancarkan dimensi akal, dimensi perasaan, dimensi kebinatangan (nafsu seks, nafsu kuas, dan kecenderungan gelap gulita). Keindahan mengikuti semua ini secara co-equal atau co-natural sehingga tidak jarang sebuah pesawat yang menabrak pencakar langit tampak indah. Sebuah peluru kendali yang dimuncratkan dari kapal peran menuju sasarannya di Afganistan pun tampak cantik di udara. Itu terjadi kalau konfigurasi hawa nafsu muncul dari lubuk jiwa manusia. Bisa terjadi konfigurasi moral di mana akal sehat dan perasaan manusia mencuat.


Demikianlah kurang lebih apa yang saya tangkap dari Maritain. Karena intuisi puitis itu berada di sana, di malam prasadar jiwa, tidak berbentuk, maka hal ini mengingatkan saya pada kategori kemerdekaannya Immanuel Kant, berupa moral, Tuhan, dan keabadian di seberang ajal. Kelompok kategori kemerdekaan ini lain dengan kategori kuantitas, kualitas, relasi, dan modalitas. Kategori kemerdekaan (Tuiahan, kemerdekaan, dan keabadian di balik ajal) adalah di luar pengalaman. Tuhan tidak bisa diproduksi di laboratorium dan pabrik. Bahkan akal manusia terbatas walaupun laboratorium. Di ujung pengetahuan kita yang terbatas tentang listrik dan atom, datanglah puisi. Logika rasional diganti dengan logika analogis, misalnya, Tuhan adalah benteng yang melindungi dari musuh.


Tata Surya menganalogikan kesunyian dan ketabahan sebagai istrinya. Di samping itu, dia memusatkan diri pada kefanaan, pada proses pembusukan. Namun dengan sebuah puisi ia mengabadikan kefanaan itu. Suatu kontradiksi unik yang mengatakan bahwa seniman adalah manusia yang sibuk dengan stop moving, tetapi mencerminkan gerakan ke arah akhir kehidupan, yaitu pembusukan. Namun tetap juga mencerminkan loncatan ke akherat yang entah di mana dan bagaimana detailnya, hanya umum dikenal sebagai surga dan neraka.


Sajak-sajak Sihar Ramses Simatupan penuh dengan dislokasi arti perangsang imajinasi. Arti imajinal, arti misterius, dan arti rasional mengental dalam adonan kata-kata yang penuh dengan inner melody (dengan poetic sense atau citarasa puitis). Mata nalar bisa saja dikatupkan lalu kita dibawa oleh proses interrelasi, citra-citra prakonseptual, alam semesta imajinal-emosional, denyut intuisi musikal. Pendeknya dibawa ke lubuk intuisi kreatif, ke malam prakonseptual. Lalu yang dilihat adalah bulan yang mendaki pelan-pelan.



Depok, Oktober 2001
Gerson Poyk -Sastrawan